Kamis, 30 Desember 2010

industri

KERACUNAN BAHAN LOGAM ATAU METALOID PADA INDUSTRIALISASI

Kegiatan Penambangan emas tanpa ijin (PETI) di Kecamatan Kurun merupakan kegiatan
yang telah dilakukan selama berpuluh tahun oleh masyarakat sekitar. Kegiatan PETI di
Kecamatan Kurun pada umumnya dilakukan di tengah-tengah sungai. Penentuan lokasi PETI
biasanya dilakukan secara coba-coba (trial and error). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian keracunan merkuri pada
penambang emas tanpa ijin (PETI) di Kecamatan Kurun Kabupaten Gunung Mas.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan Cross Sectional.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan sampel adalah proporsional random sampling.
Sampel yang digunakan adalah penambang yang masih aktif bekerja. Jumlah sampel dalam
penelitian ini adalah 41 orang. Data penelitian diambil melalui panduan wawancara dengan
kuisioner dan pemeriksaan laboratorium kadar merkuri dalam air dan rambut. Dianalisis dengan
uji chi-square dan regresi logistik. Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah jenis
aktivitas penambang, lama kerja/hari, masa kerja/tahun, kelengkapan alat pelindung diri (APD),
kontinuitas penggunaan alat pelindung diri (APD), dan jumlah pemakaian merkuri/hari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan merkuri dalam penambangan ini relatif
tinggi yaitu berkisar antara 0.25 ons s/d 1 ons. Hal tersebut dapat menurunkan kualitas
lingkungan terutama sungai yang digunakan sebagai tempat pembuangan limbah merkuri. Selain berdampak pada lingkungan, berdampak pula bagi kesehatan penambang maupun masyarakat sekitar karena air sungai masih digunakan sebagai sumber air bersih dan minum.
Karakteristik penambang emas yang menjadi sampel peneltian ini adalah berumur ratarata
32.5366 tahun. Rata-rata kadar merkuri dalam air pada sampel pada 6 titik penelitian adalah
0.0039150 mg/l yaitu telah melebihi nilai ambang batas sesuai Permenkes tahun 1990 mengenai air bersih dan tahun 2002 mengenai air minum. Rata-rata kadar merkuri yang ditemukan pada rambut penambang 3.37649 μg/gr, telah melebihi nilai ambang batas yang diperbolehkan WHO yaitu 1-2 mg/kg. Persentase jumlah penambang yang mengalami keracunan adalah 80.5 %. Hasil analisis chi-square menunjukkan bahwa 2 variabel bebas yaitu lama kerja/hari (p= 0.002), dan kontinuitas penggunaan APD (0.000) memiliki hubungan bermakna dengan keracunan merkuri pada penambang emas tanpa ijin (PETI). Ditemukan gejala penyakit yang timbul dari penambang emas tanpa izin (PETI) adalah mudah lelah, sakit kepala, gemetar/menggigil, dan sendi-sendi kaku.

Aktivitas manusia, berazaskan manfaat dan ekonomi serta konservasi lingkungan
merupakan suatu hal yang memiliki peranan penting terhadap pembangunan
berkelanjutan Di satu sisi, pembangunan akan meningkatkan kualitas hidup manusia
dengan meningkatnya pendapatan masyarakat. Disisi lain, pembangunan juga bisa
menurunkan kesehatan masyarakat di sebabkan pencemaran yang berasal dari limbah
industri dan rumah tangga. Sebagai contoh, pesatnya pembangunan dan penggunaan
bahan baku logam berat bisa berdampak negatif, yaitu munculnya kasus pencemaran
yang melebihi batas sehingga mengakibatkan kerugian dan keresahan masyarakat. Hal itu
terjadi karena sangat besarnya resiko terpapar logam berat maupun logam transisi yang
bersifat toksik dalam dosis dan konsentrasi tertentu.
Sejak kasus kecelakaan merkuri di Minamata Jepang tahun 1953 yang secara
intensif dilaporkan, isu pencemaran logam berat meningkat sejalan dengan
pengembangan berbagai penelitian yang mulai diarahkan pada berbagai aplikasi
teknologi untuk menangani pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh logam berat.
Pada konsentrasi yang sangat rendah efek logam berat dapat berpengaruh langsung dan
terakumulasi pada rantai makanan sehingga dikhawatirkan berdampak pada kesehatan
manusia. Seperti halnya sumber-sumber pencemaran lingkungan lainnya, logam berat
tersebut dapat ditransfer dalam jangkauan yang sangat jauh di lingkungan, selanjutnya
berpotensi mengganggu kehidupan biota lingkungan dan akhirnya berpengaruh terhadap
kesehatan manusia walaupun dalam jangka waktu yang lama dan jauh dari sumber
pencemar utamanya.
Beberapa logam berat, seperti arsenik, timbal, kadmium dan merkuri sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia dan kelangsungan kehidupan di lingkungan.
Pencemaran logam berat dalam lingkungan dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan,
baik pada manusia, hewan, tanaman maupun lingkungan. Salah satu logam berat yang
berbahaya adalah merkuri. Secara alamiah, pencemaran merkuri berasal dari kegiatan
gunung berapi atau rembesan tanah yang melewati deposit merkuri. Keberadaan merkuri
dari alam dan masuk ke suatu tatanan lingkungan tidak akan menimbulkan efek1.
Di Indonesia, pencemaran logam berat cenderung meningkat sejalan dengan
meningkatnya proses industrialiasasi. Sejak era industrialisasi, merkuri menjadi bahan
pencemar penggalian karena merkuri dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Salah
satu penyebab pencemaran lingkungan oleh merkuri adalah pembuangan tailing
pengolahan emas yang diolah secara amalgamasi2.
Usaha pertambangan, oleh sebagian masyarakat sering dianggap sebagai
penyebab kerusakan dan pencemaran lingkungan. Sebagai contoh, pada kegiatan usaha
pertambangan emas skala kecil, pengolahan bijih dilakukan dengan proses amalgamasi
dimana merkuri (Hg) digunakan sebagai media untuk mengikat emas.
Pencemaran merkuri banyak sekali ditemukan pada penambang emas tradisional.
Penambangan emas tanpa ijin (PETI) ditemukan di berbagai tempat di Indonesia antara
lain di Pongkor, Jawa Barat, Kulo, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah. Sebagian
besar wilayah di Kalimantan Tengah terdapat kandungan emas yang tinggi. Emas yang
terkandung dalam tanah menarik minat para penambang skala kecil/penambang artisanal
yang berasal dari Jawa dan Kalimantan Selatan. Komunitas-komunitas ini melakukan
penambangan emas di sepanjang area studi dengan cara menggali lubang tambang yang
dalam, dengan menggunakan merkuri yang berdampak pada pencemaran logam berat
yang bersifat toksik dan akan menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan
masyarakat. Para penambang tradisional Dayak biasanya menambang di sepanjang alur
sungai. Mereka mencari emas menggunakan mesin sedot dengan demikian mengganggu
hamparan kanal dan alur sungai, serta meningkatkan jumlah tumpukan sedimen. Kedua
jenis komunitas ini menggunakan peralatan yang sama untuk mencari emas, dan
keduanya juga menggunakan merkuri untuk memisahkan emas dalam proses
amalgamasi3 .
Penelitian mengenai merkuri telah banyak dilakukan di Indonesia, beberapa
penelitian tersebut yaitu yang pertama adalah penelitian Konsumsi Ikan Laut, Kadar
Merkuri dalam rambut, dan kesehatan nelayan di Pantai Kenjeran Surabaya tahun 2004
oleh Sudarmaji, Adi Heru Sutomo dan Agus Suwarni. Variabel yang diteliti adalah
konsumsi ikan laut, kadar merkuri di rambut, dan gejala kesehatan. Responden yang
mengkonsumsi ikan sebanyak rata-rata 99,11 gram/hark mempunyai kadar dalam
rambutnya sebesar 0,511 ppb. Penelitian ini mengindikasikan gejala-gejala penyakit yang
terjadi pada mereka yang rnengkonsumsi ikan antara lain ginjal, pusing-pusing, tumor,
pendarahan gusi, dan gangguan penglihatan4.
Penelitian kedua yaitu mengenai keluhan gangguan kesehatan pada penambang
emas tanpa izin dan masyarakat dalam kaitan dengan paparan merkuri di sekitar Sungai
Kapuas Kecamatan Nangan Sepauk Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat oleh Rudolf,
(2004). Variabel yang diteliti adalah kadar merkuri di rambut. Hasil penelitian
menunjukkan ada perbedaan penderitaan penyakit akibat kadar Hg antara kelompok
penambang dan kelompok non penambang, (p) = 0,030 (p<0,05). Tidak ada perbedaan kadar Hg rambut kelompok penambang dan kelompok non penambang, (p) = 0,084 (p >
0,05). Tidak ada perbedaan kadar Hg rambut berdasarkan umur kelompok penambang
dan kelompok non penambang, (p) = 0,360 (p > 0,05). Tidak ada perbedaaan kadar Hg
rambut berdasarkan lama bermukim kelompok penambang dan kelompok non
petambang, (p) = 0,236 (p > 0,05). Tidak ada perbedaan kadar Hg rambut berdasarkan
masa bekerja kelompok penambang dan kelompok non penambang, (p) = 0,278 (p >
0,05)5 .
Data Badan Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup tahun 2002,
melaporkan bahwa setiap tahun diperkirakan 10 ton Hg sisa penambangan emas
tradisional di buang ke sungai. Provinsi Kalimantan Tengah terdapat 65.000 penambang
emas tradisional yang menggunakan merkuri sebagai pelebur butir emas. Sekitar 25.000
penambang emas bekerja di 11 aliran sungai besar di Kalteng, sehingga limbah langsung
mencemari sungai. Sungai dengan kondisi terparah adalah Sungai Kahayan yang
mengalir di Kabupaten Gunung Mas, dengan jumlah raksa yang terbuang mencapai 1,5
ton dalam waktu tiga bulan. Sekitar 500 penambang emas bekerja di sepanjang sungai
Kahayan, dan sekitar 70 penambang emas bekerja di kecamatan Kurun. Masalah
pencemaran raksa (merkuri) di Kalimantan Tengah semakin meningkat, karena limbah
dari kegiatan tambang tradisional yang tidak diolah terus menerus mengalir ke sungaisungai
besar6,7.
Sebagian besar kandungan merkuri yang terlepas dari proses penambangan
melekat pada sedimen dan sebagian lagi berubah menjadi metil merkuri yang bersifat
sangat membahayakan fungsi pernafasan dan sistem metabolisme. Jenis siput dan udang
kecil akan menyerap metil merkuri ini dari endapan dan air. Ikan yang memakan udang
dan siput atau ikan yang terkontaminasi akan mengakumulasi raksa organik dalam
tingkat yang tinggi.
Para penambang pada umumnya tercemar merkuri melalui kontak langsung
dengan kulit, menghirup uap merkuri, dan memakan ikan yang telah tercemar merkuri
Untuk masyarakat umum, pencemaran biasanya terjadi karena memakan ikan yang telah
tercemar dan menghisap uap merkuri yang berasal dari toko emas di sekitarnya ketika
amalgam dibakar. Masalah kesehatan utama akibat uap raksa terjadi pada otak, paru-paru,
sistem syaraf pusat dan ginjal. Ibu yang sedang hamil dapat menularkan raksa organik
pada janin melalui plasenta sehingga merusak otak dan organ tubuh janin dan
menyebabkan keterbelakangan, bahkan kematian. Bayi dan anak kecil yang
terkontaminasi raksa dapat mengalami kesulitan belajar atau tingkat kecerdasan yang
rendah8.
Penelitian ini didasarkan dari berbagai masalah masalah kesehatan lingkungan
yang terjadi akibat penggunaan merkuri pada penambangan emas. Penelitian ini secara
umum bertujuan untuk mengatahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keracunan
merkuri (Hg) pada penambang emas tanpa ijin (PETI) di Kecamatan Kurun, Kabupaten
Gunung Mas.

ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN

Joseph Schumpeter (dalam Marchinelli dan Smelser,1990 :14-20) mengisyaratkan tentang pentingnya inovasi dalam proses pembangunan ekonomi di suatu negara. Dalam hal ini, pesatnya hasil penemuan baru dapat dijadikan sebagai ukuran kemajuan pembangunan ekonomi suatu bangsa.
Dari berbagai tantangan yang dihadapi dari perjalanan sejarah umat manusia, kiranya dapat ditarik selalu benang merah yang dapat digunakan sebagai pegangan mengapa manusia "survival" yaitu oleh karena teknologi.
Teknologi memberikan kemajuan bagi industri baja, industri kapal laut, kereta api, industri mobil, yang memperkaya peradaban manusia.. Teknologi juga mampu menghasilkan sulfur dioksida, karbon dioksida, CFC, dan gas-gas buangan lain yang mengancam kelangsungan hidup manusia akibat memanasnya bumi akibat efek "rumah kaca".
Teknologi yang diandalkan sebagai istrumen utama dalam "revolusi hijau" mampu meningkatkan hasil pertanian,- karena adanya bibit unggul, bermacam jenis pupuk yang bersifat suplemen, pestisida dan insektisida. Dibalik itu, teknologi yang sama juga menghasilkan berbagai jenis racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungannya, bahkan akibat rutinnya digunakan berbagi jenis pestisida ataupun insektisida mampu memperkuat daya tahan hama tananam misalnya wereng dan kutu loncat.
Teknologi juga memberi rasa aman dan kenyamanan bagi manusia akibat mampu menyediakan berbagai kebutuhan seperti tabung gas kebakaran, alat-alat pendingin (Iemari es dan AC), berbagai jenis aroma parfum dalam kemasan yang menawan, atau abat anti nyamuk yang praktis untuk disemprotkan, dan sebagainya. Serangkai dengan proses tersebut, ternyata CFC (chlorofluorocarbon) dan tetrafluoroethylene polymer yang digunakan justru memiliki kontribusi bagi menipisnya lapisan ozone di stratosfer.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi akibat yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus berbagai jenis tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis fauna yang langka.
Bahkan akibat kemajuan teknologi, era sibernitika yang mengglobal dapat dikomsumsi oleh negara-negara miskin sekalipun karena kemampuan komputer sebagai intrumen informasi yang tidak memiliki batas ruang. Dalam hal ini, jaringan Internet yang dapat diakses dengan biaya yang tidak mahal menghilangkan titik-titik pemisah yang diakibatkan oleh jarak yang saling berjauhan. Kemanjuan teknologi sibernitika ini.
meyakini ekonom Peter Drucker (Toruan, dalam Jakob Oetama (ep.) 1999:35, bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh negara maju akan dapat disusul oleh negara-negara berkembang, terutama oleh menyatunya negara maju dengan negara berkembang dalam blok perdagangan.
Kasus Indonesia Indonesia memang negara "late corner" dalam proses industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih terbelakang. Menurut PECC dalam laporannya berjudul "Pasific Science and Technology Profit, menyimpulkan bahwa Indonesia dari segi pengeluaran R&D (Research and Design) sebagai persentase PDB, tergolong masih sangat kurang (Susastro, 1992:31).
Selanjutnya, dipaparkan bahwa Indonesia bersama dengan Filipina berada di peringkat terbawah, yaitu sekitar 0,12 persen saja untuk tahun 1987. Sedangkan Malaysia, Singapura dan Cina persentasenya mendekati 1 persen, di Korea mendekati 2 %, bahkan Amerika dan Jepang jauh diatas 2 persen.
Dari segi jumlah ilmuan dan insiyur, Indonesia juga berada pada peringkat terbawah, yaitu hanya 4 orang per 10.000, dibandingkan dengan 15 orang di Korea, 18 orang di Taiwan, 23 orang di Singapura, 34 orang di Jepang dan 40 orang di Amerika.
Berdasarkan data perbandingan tersebut, indikasi kebijaksanaan harus menitikberatkan perhatian yang lebih bagi upaya untuk mengkreasi penemuan-penemuan teknologi, melalui tahapan mempelajari proses akuisisi dan peningkatkan kemampuan teknologi yang telah dikuasai.
Seperti pengalaman negara-negara lain yang telah melalui berbagai tahapan pembangunan sampai pada tahap industrialisasi, maka Indonesia juga mengandalkan teknologi dalam industrinya untuk memelihara momentum pembangunan ekonomi dengan tingkat pertumbuhan diatas 5 % pertahunnya 1. Masuknya teknologi ke Indonesia sudah dimulai sejak diundangkannya UUPMA (UU No. 1 tahun 1967, yang diperbarui dengan PP.No. 20 tahun 1994). Dengan dukungan UU tentang Hak Paten (Property Right) dan UU Perlindungan Hak Cipta (Intelectual Right), maka banyak perusahaan multinasional dan asing yang menggunakan, memakai dan mengembangkan teknologi dalam menghasilkan berbagai produk industri.
Dalam hal merebaknya teknologi industri masuk ke Indonesia, Hiroshi Kakazu (1990: 66) menyatakan bahwa transfernya dapat melalui: (a)Science aggrement, (b). technical assistence and coopteration, (c). turnkey project, (d). foreign direct invesment, dan (e). purchase of capital goods. Atau dalam bentuk equity participation dalam rangka joint operation aggrement, know - how aggrement, kontrak-kontrak pembelian mesin-mesin, trade fair dan berbagai lokakarya (Lubis, 1987: 5 dan 9). Sebagai salah satu negara berkembang yang banyak membutuhkan dana bagi pembiayaan pembangunan, maka Indonesia seringkali "dicurigai" melakukan eksploitasi sumber alamnya secara besar-besaran, karena dukungan kemajuan teknologi dan besarnya tingkat kebutuhan Industri-industri yang berkembang pesat secara kuantitif dan berskala besar.
Berdasarkan hasil studi empiris yang pernah dilakukan oleh Magrath dan Arens pada tahun 1987 (Prasetiantono, di dalam Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 95), diperkirakan bahwa akibat erosi tanah yang terjadi di Jawa nilai kerugian yang ditimbulkannya telah mencapai 0,5 % dari GDP, dan lebih besar lagi jika diperhitungkan kerusakan lingkungan di Kalimantan akibat kebakaran hutan, polusi di Jawa, dan terkurasnya kandungan sumber daya tanah di Jawa.
Masalah prioritas model teknologi (iptek) apakah kompetitif (competitive) atau komparalif (comparative), teknokrat yang diwakili Widjojo Nitisastro cs dan Sumilro Djojohadikusumo, mengurutnya atas dasar teknik Delphi. Sedangkan B. J. habibie (Dewan Riset Nasional) merangkainya dengan konsep matriks (Anwar, Ibrahim M., 1987).
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik, Suarbaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996:104), mencatat keadaaan lingkungan di beberapa kota di Indonesia, yaitu:
Terjadinya penurunan kualitas air permukaan di sekitar daerah-daerah industri. Konsentrasi bahan pencemar yang berbahaya bagi kesehatan penduduk seperti merkuri, kadmium, timah hitam, pestisida, pcb, meningkat tajam dalam kandungan air permukaan dan biota airnya.
Kelangkaan air tawar semakin terasa, khususnya di musim kemarau, sedangkan di musim penghujan cenderung terjadi banjir yang melanda banyak daerah yang berakibat merugikan akibat kondisi ekosistemnya yang telah rusak.
Temperatur udara maksimal dan minimal sering berubah-ubah, bahkan temperatur tertinggi di beberapa kola seperti Jakarta sudah mencapai 37 derajat celcius.
Terjadi peningkatan konsentrasi pencemaran udara seperti CO, NO2r S02, dan debu.
Sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia terasa semakin menipis, seperti minyak bumi dan batubara yang diperkirakan akan habis pada tahun 2020. Luas hutan Indonsia semakin sempit akibat tidak terkendalinya perambahan yang disengaja atau oleh bencana kebakaran. Kondisi hara tanah semakin tidak subur, dan lahan pertanian semakin memyempit dan mengalami pencemaran.